• UGM
  • IT Center
  • EnglishEnglish
  • Bahasa IndonesiaBahasa Indonesia
Universitas Gadjah Mada Menara Ilmu Parasitologi Kedokteran
Universitas Gadjah Mada
  • Visi Misi
  • Parasitologi Kedokteran
  • Subdivisi
    • Protozoologi
    • Helmintologi
    • Entomologi
  • Penyakit akibat parasit
    • Penyakit Kecacingan (Helminths)
      • Askariasis
      • Trikuriasis
      • Penyakit Enterobiasis
      • Infeksi cacing tambang atau Hookworm (Cutaneous Larva Migrans)
      • Penyakit Strongyloidiasis
      • Penyakit Taeniasis
      • Penyakit Diphyllobothriasis
      • Penyakit Fascioliasis
      • Schistosomiasis
      • Penyakit Fasciolopsiasis
    • Penyakit akibat Protozoa usus
      • Penyakit Amebiasis
      • Penyakit Giardiasis
      • Penyakit Cryptosporidiosis
    • Penyakit Tular Vektor
      • Demam Berdarah Dengue
      • Penyakit Zika
      • Penyakit Chikungunya
      • Japanese Encephalitis (JE)
      • Penyakit Malaria
      • Filariasis limfatik
    • Penyakit akibat Arthropoda
      • Penyakit Pediculosis
      • Scabies (Kudis)
      • Gigitan atau sengatan Serangga
      • Alergi debu tungau rumah
      • Penyakit Dermatitis linearis
    • Penyakit parasit lainnya
      • Toksoplasmosis
      • Trikomoniasis
      • Toksokariasis
      • Penyakit Paragonimiasis
      • Hidatidosis (Echinococcosis)
  • Kontak
  • Beranda
  • Artikel
  • Penyakit yang paling terabaikan tanpa data prevalence di Indonesia: Strongyloidiasis

Penyakit yang paling terabaikan tanpa data prevalence di Indonesia: Strongyloidiasis

  • Artikel
  • 5 September 2019, 06.00
  • Oleh: Rizqiani Kusumasari
  • 0

Strongyloides stercoralis adalah suatu spesies cacing parasit yang menyebabkan penyakit infeksi kronis yang menyerang manusia yang disebut strongyloidiasis. Spesies ini banyak ditemukan di daerah tropis dan subtropis dan endemik di banyak negara. Strongyloides stercoralis memiliki karakter yang unik sebagai cacing nematoda parasit karena dapat memiliki kemampuan untuk bertahan dan bereplikasi berulang kali pada suatu inang serta bertahan hingga beberapa dekade tanpa menghasilkan gejala yang khas bahkan tanpa gejala tetapi berpotensi menyebabkan infeksi yang mengancam nyawa melalui penyebarannya dan hiperinfeksi pada inang manusia yang memiliki sistem imun rendah. Insidensi dari infeksi Strongyloides sering disamakan dengan infeksi cacing tambang, tetapi angkanya lebih rendah. Faktor risiko terjadinya penyakit ini diantaranya iklim yang mendukung, sanitasi yang buruk dan kebiasaan tanpa alas kaki diatas tanah. Dilaporkan bahwa sekitar 30-100 juta manusia di seluruh dunia terinfeksi oleh penyakit ini, tetapi data prevalensi penyakit ini tidak diketahui di negara endemis tidak hanya di wilayah Asia Tenggara yang diketahui endemis untuk kecacingan tetapi di wilayah lain. Prevalensi Strongyloides stercoralis diperkirakan cukup tinggi jika melihat lingkungan ekologis dan ekonomi di negara Asia Tenggara termasuk Indonesia.

Prevalensi yang tidak terlaporkan ini disebabkan adanya kesalahan diagnosa dalam mengidentifikasi Strongyloides stercoralis sebagai hookworm dan karena kurang sensitifnya metode pemeriksaan yang dilakukan sebelumnya. Karena hal ini, maka perlu diadakan penelitian tersendiri untuk mengetahui prevalensi dari Strongyloides stercoralis pada populasi yang ada di Indonesia. Pemeriksaan mikroskopis dengan metode langsung (direct method) masih cukup relevan untuk dilakukan, tetapi untuk mengetahui lebih pasti mengenai jenis parasit ini maka penelitian berbasis molekuker lebih tepat untuk digunakan guna mendapatkan data yang lebih akurat.

Infeksi penyakit ini sering kali tidak menimbulkan gejala klinis yang khas yaitu seperti rasa gatal pada kulit, mual, muntah, maupun diare dan konstipasi saling bergantian. Infeksi ini dapat menjadi sangat berat dan berbahaya pada mereka yang memiliki sistem imun rendah seperti pada penderita HIV/AIDS, transplantasi organ serta pasien yang mendapatkan pengobatan kortikosteroid jangka panjang. Dengan adanya data prevalensi Strongyloides stercoralis dengan pemeriksaan yang lebih akurat, diharapkan penyakit strongyloidiasis akan mendapatkan perhatian dan kewaspadaan lebih serta tercipta kebijakan strategis untuk melakukan kontrol dan eliminasi terutama di negara endemik dengan faktor risiko tinggi.

 

 

 

Referensi:

Craig, C.F., et al. 1970. Craig and Faust’s Clinical Parasitology. Michigan : Lea & Febiger

CDC. 2019. Strongyloides. http://www.cdc.gov/parasites/strongyloides/.

Genta RM (1989) Global prevalence of strongyloidiasis: critical review with epidemiologic insights into the prevention of disseminated disease. Rev Infect Dis. 11: 755–767.

Indonesia Medical Laboratory. 2019. Strongyloides stercoralis (cacing benang). https://medlab.id/strongyloides-stercoralis/

Kramme, S., Nissen N, Soblik, H., Erttmann, K.,Tannich, E., Fleischer, B., Panning, M., Brattig, N. 2011. Novel real-time PCR for the universal detection of Strongyloides species. J. Med. Microbiol.60, 454–458.

Olsen A, van Lieshout L, Marti H, Polderman T, Polman K, et al. (2009) Strongyloidiasis—the most neglected of the neglected tropical diseases? Trans R Soc Trop Med Hyg103: 967–972.

Leave A Comment Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*

Tautan

Universitas Gadjah Mada

Departemen Parasitologi

Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada

Gedung Prof. Drs. R. Radiopoetro Lantai 4

Sekip Utara, Yogyakarta 55281

Indonesia

Telp./Fax. (0274) 546215

Email: parasitologi.fk@ugm.ac.id

© Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju